Laris Manis Dapur Dnema: Usaha Kuliner Bersertifikat Halal

“Mau dibawain apa? Roti goreng? Sosis solo? Donat? Risol ragout? Onde-onde? Eh, tapi gua cuma ada stok roti goreng sama sosial solo buat besok. Hahaha…” begitulah isi pesan singkat Tisha melalui WhatsApp ke Cerita UMKM pada satu malam sebelum kami janji bertemu esok harinya. 

Benar saja, pemilik nama panjang Silvia Artisha Nugraha pada hari janji temu kami untuk ngobrol-ngobrol seputar usaha kecilnya ini, membawakan satu boks roti goreng isi 5 dan sosis solo buatannya sendiri untuk Cerita UMKM coba cicipi. 

Punya hobi jajan dan makan, alhamdulillah, Tisha juga bisa masak. Alih-alih harus habis uang untuk membiayai hobinya ini, Tisha putar otak mengapa tidak coba membuat snack atau makanan untuk dijual saja. 

Akhirnya pada sekitar 2018, membawa nama brand Dapur Dnema, Tisha memulai usaha kulinernya. Dapur Dnema mengambil singkatan dari Dapur Uni Ema. Ema sendiri berasal dari nama Ibunda Tisha yang berasal dari tanah Minang.

Usaha rumahannya ini baru beroperasi di sekitar bilangan Cibitung, Kabupaten Bekasi. Dapur Dnema menyajikan aneka snack dan lauk hingga nasi kotak. Untuk lauk seperti rendang daging atau paru dan nasi kotak, ia hanya menerima sesuai pesanan saja.

Kendati masih usaha skala kecil, jangan pandang sebelah mata Dapur Dnema. Snack-snack yang disajikan dan dijual sudah bersertifikat halal! Selain itu, aneka menu yang dijual Dapur Dnema terjamin enak rasanya. 

Dari Snack hingga Nasi Kotak

Semenjak ikut pindah rumah ke Perumahan Metland Cibitung, Kabupaten Bekasi, pada sekitar 2018, Tisha kepikiran mau mulai usaha jualan makanan apa saja, mulai dari snack hingga makanan berat.

Pindah tinggal ke daerah baru, dirinya kerap keliling sekitar Cibitung, cari jajanan enak. Sayang, di Cibitung menurutnya enggak ada makanan enak yang sesuai selera kulinernya.

“Awal mula bikin [Dapur Dnema] itu karena di sana enggak ada makanan enak. Kebanyakan nemu makanan enggak enak, rasanya hambar, dan kurang bumbu. Apalagi di perumahan gua tukang jualan enggak boleh masuk ke dalam klaster,” kata Tisha kepada Cerita UMKM, pada akhir Februari 2024.

Kalau sebelumnya Tisha tinggal di Jakarta dengan akses ke banyak jajanan dan makanan enak lebih banyak dan beragam, di Cibitung, nuansa demikian belum ia temukan.

Apalagi pada sekitar waktu saat ia pindah ke sana, perumahannya masih tergolong baru, masih sepi penghuni. Namun, seiring waktu perumahan-perumahan di Cibitung kian menjamur.

Siapa nyana, pindah ke tempat baru dan tidak menemukan jajanan enak bikin Tisha memulai usaha kecil jualan makanan sendiri dengan sedikit riset dari YouTube seputar makanan yang kiranya bakal laku dijual.

Apalagi ia bisa memasak. Jadi, semua makanan yang dijual merupakan hasil buatannya sendiri. Plusnya, semua laris manis!

1. Jualan Aneka Snack Tiap Hari

Dapur Dnema menjual aneka macam snack. Ada roti goreng, donat meses coklat dan gula bubuk, onde-onde, risol dan risol ragout, sosis solo, nagasari, lontong isi ayam dan oncom, bakwan sayur juga udang, pastel, martabak sayur, tahu isi, hingga bolu kukus.

Tidak semua menu di atas ready setiap hari. Tisha mengaku membuat jadwal harian untuk jualan snack apa saja setiap harinya. Misalnya, hari Senin Dapur Dnema akan jual sosis solo, donat, risol ragout, dan onde-onde, sedangkan hari Selasa dan lainnya, menu snack lainnya yang ia jual.

“Kalau snack, tiap hari dengan jadwal. Jadi, kayak roti goreng, risol, atau donat itu enggak selalu ada tiap hari,” Tisha menjelaskan.

Semua pesanan yang dijual Dapur Dnema, baik snack maupun nasi kotak, bisa dipesan via WhatsApp. Ia juga mengaku semua dagangannya masih banyak dipesan dari para penghuni di perumahannya dan sekitarnya.

“Perumahan gua kan masih tergolong baru, ada sekitar 20 kluster. Jadi koordinasinya lewat WhatsApp group untuk gua share saat malam, pesanan buat besok apa aja snack yang ready di-order. Selain itu, ada jam-jam mereka bisa mulai pre-order, misalnya dari pagi sampai sore,” beber anak kedua dari empat bersaudara ini.

Cara ini memudahkannya untuk mendata siapa saja pembeli dan berapa banyak pesanan yang mesti ia sediakan untuk esok harinya.

Tak hanya itu, Tisha juga menerapkan minimum order pesanan snack-nya. Misalnya, dengan pesanan seharga Rp15.000 untuk snack yang ready besok itu martabak sayur, bakwan, dan sosis solo. Jadi, pembeli tidak bisa beli snack satu macam satu buah saja di Dapur Dnema.

“Kalau pesan satuan gua enggak mau karena bikin repot dan lagi harga tiap snack beda-beda. Ada yang paling murah Rp2.500 dan paling mahal Rp5.000. Jadi, mereka ‘dipaksa’ beli isi berapa, kecuali mereka belinya banyak. Kalau ada permintaan pesanan minimal bilang dari H-3, kecuali kayak donat yang bisa pesan dari H-1,” tutur Tisha.

Tisha mengaku, sekali bikin satu jenis snack, bisa sampai ratusan jumlahnya. Banyaknya stok snack yang sudah dibuat ini, kemudian disimpan di freezer untuk diolah dan dijual besoknya. Semua snack buatan Dapur Dnema, diakui Tisha selalu habis terjual.

Jika pada awalnya semua snack dan makanan berat dibuat oleh Tisha sendiri, sekarang Dapur Dnema sudah bisa mempekerjakan satu orang.

“Untuk donat, roti goreng, sama risol ragout masih gua yang bikin. Cuma kalau kayak risol, sosis solo, dibantu sama satu orang dari kampung sekitar kompleks gua. Ikut bantu gua sudah hampir setahunan, lah. Soalnya kalau semua gua sendiri yang buat capek juga,” Tisha memaparkan.

2. Lauk sampai Nasi Kotak

Tak hanya snack, Dapur Dnema juga menyajikan menu lauk jadi seperti rendang daging, paru, sambal goreng ati, ayam bakar padang, ayam goreng lada hijau, hingga nasi boks.

Isi nasi boks bisa sesuai pesanan, seperti isi nasi dan ayam goreng madu, mie goreng mata sapi, nasi dan ayam crispy, hingga bento untuk anak-anak.

Berbeda dengan snack, untuk lauk dan paket nasi, Tisha mengaku tak ready setiap hari. “Kalau makanan itu semua by pre-order. Jadi, mereka pesan dulu mau apa, baru nanti dibuatin,” kata dia.

Untuk pesanan lauk seperti rendang, Dapur Dnema biasanya kebanjiran pre-order (PO) saat Ramadan dan menjelang Lebaran Idulfitri. Untuk Ramadan dan Idulfitri tahun lalu, Dapur Dnema sampai menerima pesanan rendang daging sampai 20 kg. Itu baru dari satu lauk, belum ditambah pesanan dari lauk lainnya.

Awal Dapur Dnema terima pesanan rendang, juga diakui Tisha saat kakaknya, Jimmy, bikin open PO rendang untuk orang-orang di kantornya. Ternyata rendang buatan Tisha banyak yang suka dan order, makanya rendang jadi salah satu lauk favorit pesanan pembeli.

3. Jualan Dimsum hingga Terima Jastip Makanan

Enggak cuma jualan snack, lauk, dan makanan berat yang Dapur Dnema lakukan. Tisha juga jualan dimsum dengan metode yang sama. Jualan dimsum ia lakoni sejak sekitar akhir 2019.

Saat itu, ada salah satu temannya yang jadi supplier dimsum. Karena hobi jajan, Tisha coba membeli dimsum dari temannya dan ternyata rasanya enak. Ia pun mencoba membeli 200 buah dimsum beku dari temannya untuk dijual lagi.

Dimsum yang Dapur Dnema jual, ternyata laris dan selalu dipesan lagi dari pembeli-pembeli setianya. Sayangnya, karena supplier langganannya keburu pindah ke Indramayu, Tisha menghentikan jualan dimsumnya.

Apalagi saat pindah supplier untuk dimsum dengan rasa yang sama, kok rasanya asam dan mulai dikomplain pembeli. Penasaran mengapa dimsum yang tadinya punya rasa enak, kok pesan dari supplier berbeda menurun kualitasnya?

“Akhirnya gua cari-cari sendiri, kontak ke beberapa pembuat dimsum. Dapat yang langsung buat dimsum yang enak itu ternyata ada di daerah Bogor. Ada sekitar tiga bulanan, lah, gua cari kontak dimsum yang enak itu,” Tisha bercerita.

Tanya-tanya ke pembuat dimsum langsung perihal pengalamannya dapat dimsum yang rasanya asam, Tisha jadi tambah ilmu bahwa hal demikian bisa terjadi karena paket dimsum yang dikirim oleh si supplier tidak dalam kondisi beku.

Dari hasil jualan dimsum ini, diakui Tisha keuntungannya lumayan, karena banyak yang beli dimsum dari Dapur Dnema.

Tak hanya dimsum yang Tisha coba jajal untuk tambah cuan. Ia juga sering terima jasa titip (jastip) bermacam-macam makanan selama dirinya tinggal di Cibitung.

Tisha melihat ada peluang jajanan kekinian di Cibitung dan sekitarnya. Banyak ibu rumah tangga yang jarang ke mana-mana, tetapi enggak mau kalah gaul dari orang kebanyakan. Makanya, saat ia buka jastip sejumlah kuliner yang sedang viral di Jakarta, banyak teman-teman kompleksnya yang order.

“Kayak roti yang ada di salah satu mal di Jakarta gua posting, malah banyak yang tanya buka jastip enggak. Atau sekelas kopi dari kedai kopi baru yang padahal ada di Bekasi juga, banyak yang tanya buka jastip enggak,” kata Tisha.

Jajanan lainnya yang pernah ia buka jastipnya, seperti roti srikaya, bakwan Pontianak, roti gembul, dan makanan lainnya.

Menurut Tisha, di perumahannya banyak orang yang sebelumnya tinggal di daerah, lalu ikut suami yang bekerja di kawasan industri dan beli rumah di sana. Jadi, banyak di antara mereka yang ikut-ikutan pesan jajanan orang kota.

Apalagi sebelumnya, belum ada stasiun kereta terdekat ke Jakarta. Mereka harus naik dari Stasiun Cibitung atau Bekasi dahulu untuk bisa ke Jakarta naik kereta.

“Nah, karena mereka malas jalan juga, sedangkan gua doyan jalan, gua bikin jastip. Dari jastip begitu aja lumayan dapetnya. Apalagi gua bisa jastip buat 20 rumah di perumahan gua. Untuk jastip, biasanya gua ambil untung Rp5.000 per item,” tutur Tisha.

Manfaatkan Media Sosial

Dapur Dnema, UMKM
Dapur Dnema paham betul penggunaan media sosial bisa meluaskan jangkauan usahanya. Medsos membantu Dapur Dnema dikenal lebih banyak orang (sumber: Freepik.com/freepik).

Selain gencar mem-posting melalui WhatsApp di grup maupun stories, Dapur Dnema juga aktif promosi lewat Instagram di akun @dapurdnema. Dapur Dnema masih fokus pada dua aplikasi tersebut sebagai sarana digital jualannya.

Penggunaan media sosial diakui Tisha untuk menjangkau lebih luas pasar dagangannya. Makin berkembangnya zaman dan pentingnya media sosial disadari oleh Tisha. Konsisten posting dagangan di media sosial jadi jurus jitu yang dilakukan Dapur Dnema.

“Kata emak gua, terus aja posting dagangan. Biar orang banyak tahu dan lama-lama akan coba beli di kita. Orang-orang juga bisa langsung tengok produk kita dari medsos,” ujar Tisha.

Sudah Punya NIB dan Sertifikat Halal

Meski tergolong usaha kecil, gini-gini Dapur Dnema sudah punya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan sertifikat halal, lho!

Dapur Dnema sudah mengantongi dua izin resmi ini sejak 2023. NIB dimiliki sejak 19 Januari 2023, sedangkan sertifikat halal untuk sejumlah produk usahanya sudah terdaftar sejak 19 Juni 2023.

Tisha cerita, ia bisa mendapatkan dua izin tersebut karena ada pelatihan UMKM yang diadakan oleh Dinas UMKM Kabupaten Bekasi.

Waktu itu, ada penyuluhan yang mengumpulkan para pelaku usaha mikro yang sudah lama dan dikenal di daerahnya untuk dibantu membuat sertifikat halal. Karena syarat untuk mendapatkan sertifikat halal harus punya NIB, pemerintah setempat juga ikut membantu mereka memiliki NIB.

Proses pembuatan NIB membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Kemudian, ada sejumlah dokumen yang harus diisi dan diberikan oleh petugas sertifikasi halal, seperti mencatatkan produk dan bahan apa saja yang diikutkan untuk sertifikasi halal.

Setelahnya, petugas sertifikasi halal akan datang ke tempat usaha kita untuk melihat dan mengambil foto. Tak lama, sertifikat halal terbit.

Pembuatan NIB dan sertifikat halal diakui Tisha gratis! Saat ini sudah ada 13 produk Dapur Dnema yang bersertifikat halal. Psst, kamu juga bisa belajar cara mendapatkan NIB dan sertifikat halal di Cerita UMKM, lho!

Mimpi Buka Warung Offline

Tisha punya mimpi, Dapur Dnema ke depannya akan punya warung fisik yang bisa dikunjungi langsung oleh orang-orang. Saat ini, mimpi Dapur Dnema baru dijajaki dengan membuka stan jualan di kompleks rumahnya setiap Sabtu dan Minggu pagi.

Memangnya, lebih untung jualan online atau offline, sih? Tisha mengaku saat ini lebih menguntungkan jualan online. “Paling enggak, buka stan itu bikin yang sebelumnya cuma tahu Dapur Dnema dan dagangannya, sekarang jadi tahu siapa yang jualan. Ada juga orang yang belum tahu dan belum pernah coba, jadi bisa coba beli langsung,” katanya.

Selain itu, Tisha mengaku di daerahnya banyak penjual yang menjual jenis makanan serupa. Sayangnya, makanan yang rasanya enak bisa dihitung jari. Makanya, kesempatan buka stan di akhir pekan diambil Dapur Dnema.

“Ke depan, gua pengin buka warung offline sendiri dengan menunya kayak nasi goreng padang, snack-snack khas Padang. Makanya, sekarang coba buka stan kecil dulu. Soalnya kalau mau buka warung, kan harus bayar sewa yang lumayan,” tutur Tisha.

Tisha sangat berpegang pada nasehat ibundanya. Pesan dari ibunda, jika kita baru jualan dan belum ada nama, harus bersedia rugi minimal enam bulan dahulu. Masa enam bulan itu adalah masa pengenalan produk.

Hitung-hitungan Untung Bisnis Dapur Dnema

hitungan untung usaha kuliner
Perhitungan biaya produksi dan penentuan harga harus cermat agar dapat untung (sumber: Pixabay.com/@jarmoluk).

Dapur Dnema menyajikan snack dan makanan berat sesuai orderan. Artinya, produk yang dijual sudah pasti habis dan laris. Akan tetapi, dapat untung enggak, ya?

“Untung,” jawab Tisha singkat. Sejak sebelum menetapkan harga jual, dirinya menghitung berapa modal yang dihabiskan untuk membuat satu jenis snack ataupun pesanan lain.

Modal yang dimaksud Tisha, tidak cuma biaya beli bahan, bumbu, dan minyak goreng, tetapi biaya lain seperti listrik, gas, transportasi, bensin, dan lain-lain juga dimasukkan sebagai komponen pembentukan harga oleh Tisha.

Ia mencontohkan untuk bikin roti goreng, harus beli ayam fillet satu kilogram seharga Rp50.000-an, lalu bumbu-bumbu, minyak goreng, dan gas. Tak hanya itu, ada biaya marketing, bensin, dan transportasi.

Semua biaya itu dicatat hingga ia dapat menentukan harga per produk. Tentunya dengan memperhitungkan margin keuntungan.

Hasil hitung-hitungan tersebut diakui Tisha membuat harga jual produk kulinernya memang agak lebih mahal dibanding penjual lain yang menjual produk sama. “Jadi, harga makanan gua emang lebih pricey dari yang lain. Makanya, biar ada untung gua jual ada minimum order,” ucap Tisha.

Apalagi untuk jarak antar makanan hanya di sekitar komplek atau masih jarak dekat, Tisha lebih memilih antar langsung ke rumah pembeli. Makanya, ada biaya bensin yang dimasukkan sebagai salah satu biaya pembentuk harga jual.

Belum lagi saat bahan makanan, minyak goreng, dan bumbu sedang naik, ia tak bisa seenaknya ikutan menaikkan harga jualannya. “Jadi, gua biasanya buat harga jual itu dua kali dari harga modal. Misalnya, modal gua bikin satu produk Rp1.500, gua jualnya dikali 2, jadi Rp3.000,” ia membeberkan.

Kalaupun dagangannya tak habis terjual semua, ia tidak merasa terlalu rugi. “Makanya, gua kalikan 2 di awal. Jadi, kalau nanti itu enggak habis, gua udah pegang keuntungan dari yang sudah terjual,” ia menambahkan.

Soal harga produknya yang jadi lebih mahal dibanding penjual lain dengan dagangan yang sama, Tisha enggak takut enggak laku. “Kalau produk yang kita jual enak, walaupun harga lebih mahal, konsumen akan balik lagi ke kita, kok,” ucapnya dengan percaya diri.

Hitung-hitungan usaha yang Tisha lakukan didapatkan dari ajaran ibunda. Keluarga Tisha memang punya darah “dagang” yang kental.

Keluarganya asal Sumatra Barat dan sudah lama wara-wiri berjualan, mulai dari bed cover, gorden, emas, hingga makanan. Sang ibu kini masih berjualan bed cover, sprei, dan sejenisnya yang dijahit sendiri.

“Selain kayaknya dagang itu menular dari orang tua, gua juga dagang karena buat jajan. Gua emang enggak mau kerja di bawah tekanan orang lain, makanya dagang,” kata lulusan Sastra Rusia dari Universitas Padjadjaran ini.

Tips Usaha Kuliner dari Dapur Dnema

Dapur Dnema, UMKM
Ada sejumlah tips yang perlu dipahami sebelum kamu memulai usaha kuliner, salah satunya riset dan kenali lokasi jualan kamu (sumber: Freepik.com/rawpixel.com).

Bakat jualan Tisha sudah enggak perlu diragukan lagi. Sudah genetik dari keluarga bakat berdagangnya itu. Nah, kendati masih dalam berproses usahanya untuk stabil dan berkembang, Tisha bermurah hati membeberkan sejumlah tips usaha kepada Cerita UMKM, nih.

Kalau para Pejuang UMKM di sini mau membuat atau bahkan sedang merintis usaha kuliner, ada beberapa tips jitu dari Tisha yang bisa kamu praktekkan juga.

1. Riset dan Kenali Lokasi Usaha

Tisha bilang, untuk bikin usaha kuliner, kita harus tahu lebih dahulu apa saja produk yang belum ada di daerah tempat kita mau buka usaha.

Kalau sudah banyak produk serupa yang dijual, cari keunikan dan rasa khas makanan kita. Jangan coba meniru rasa masakan orang lain.

2. Jangan Takut Rugi

Buka usaha kuliner harus mau rugi dahulu. “Soalnya, usaha makanan itu di awal pasti rugi dahulu,” kata Tisha. Hal ini karena usaha makanan tidak tahan lama, kecuali jualan makanan beku.

“Untuk usaha, gua bilang jangan takut rugi. Makanya dari awal hitungan kita harus sudah benar dulu semua komponen biaya produksinya,” ucapnya lagi.

3. Konsisten dengan Rasa Makanan

Pastikan kamu menyajikan rasa makanan yang khas dan enak. Jika dua hal ini sudah kamu miliki, pastikan rasa makanan yang dijual ke depannya tidak akan berubah-ubah.

Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan pelanggan. Mereka cenderung membeli kembali makanan kamu karena kesan yang baik sebelumnya dengan jualanmu.

4. Tidak Sembarangan Naikkan Harga

Bisnis kuliner diakui Tisha bergantung pada komponen harga bahan baku yang bisa naik tiba-tiba. Apalagi harga bahan baku makanan di pasaran sering kali fluktuatif.

Misalnya, saat harga minyak goreng atau beras naik, penjual tidak bisa langsung ikut menaikkan harga produknya. Makanya penting menghitung semua biaya pembuatan produk.

5. Gunakan Media Sosial

Media sosial diakui Tisha membantu produknya makin dikenal masyarakat lebih luas dan memudahkan orang order dagangannya.

Keberadaan media sosial membantu memasarkan dan promosi dagangan kita. Apalagi Tisha sebelumnya juga sudah mengakui lebih untung jualan secara online.


Nah, itu dia cerita Dapur Dnema untuk rubrik Kiprah Cerita UMKM. Buat kamu yang ingin atau sedang menjalankan usaha kuliner, semoga bisa dapat banyak inspirasi dan pelajaran dari cerita UMKM di rubrik Kiprah ini, ya.

Cerita Lainnya

Artikel Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *